Menurutnya, saat ini situasinya berbeda ketika terjadi krisis moneter pada 1998 karena fenomena pelemahan rupiah terhadap dollar AS saat ini juga dialami negara-negera berkembang lain dan laju inflasi juga masih relatif terkendali hingga akhir tahun. "Kita lihat kondisi fundamentalnya. Saat ini masih aman terkendali dan tidak ada indikasi krisis. Inflasi saat ini terkendali. Ketika rupiah melemah tajam, inflasi luar biasa pada 1998. Waktu 1998, rupiah melemah. Pertumbuhan ekonomi juga negatif minus 14 persen. Kalau sekarang, pertumbuhan aman meski melambat," ujarnya di Jakarta, Jumat (31/7/2015).
Menkeu kembali menegaskan
pelemahan rupiah terjadi akibat penguatan dollar AS karena rencana normalisasi
kebijakan moneter The Fed (Bank Sentral AS) yang terus menimbulkan spekulasi dan ketidakpastian perekonomian global. Namun, ia memastikan bahwa pemerintah dan para investor telah mengantisipasi (price in) apabila suku bunga acuan The Fed benar-benar mengalami
kenaikan karena hal tersebut telah menjadi proyeksi berbagai pihak sejak awal.
"Rapat FOMC menunjukkan ekonomi AS makin membaik.
Itu menimbulkan spekulasi tentang kenaikan tingkat bunga. Ini yang kita sebut dengan price in dari perkiraan kenaikan tingkat bunga. Jadi, apabila
benar-benar ada kenaikan, memang ada gejolak, tapi tidak besar," kata
Menkeu.
Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS di pasar spot pada Jumat sore anjlok ke level Rp 13.539 per dollar AS.
Posisi ini kembali menempatkan rupiah pada level terendah sejak krisis tahun
1998 silam.